Minggu, 04 April 2010

Kerjasama Pemerintah-Swasta Dalam Bidang Sanitasi

Oleh: Teguh Indra Budiman

1.1 Latar Belakang
Penyediaan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan permukiman (PS PLP) atau sanitasi yang mencakup air limbah, persampahan, dan drainase merupakan salah satu prioritas dari Pemerintah Indonesia dalam menciptakan lingkungan permukiman yang sehat dan layak huni. PS PLP sangat erat kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Namun di sisi lain, ada keterbatasan pendanaan bagi pengembangan PS-PLP ini. Hal inilah menjadi salah satupenyebab, mengapa akses masyarakat terhadap prasarana dan sarana sanitasi saat ini masih rendah.

Beberapa parameter yang menunjukkan kinerja pelayanan penyehatan lingkungan permukiman saat ini masih rendah. Antara lain : (i) Tingginya angka sakit dan kematian yang disebabkan waterborne diseases; (ii) Cakupan akses pelayanan persampahan dan air limbah yang masih sangat kecil; (iii) Masih banyaknya keluhan masyarakat mengenai kebersihan perkotaan karena lemahnya penanganan dan pengelolaan sampah; (iv) Banjir yang masih terus terjadi sebagai akibat tidak adanya pelayanan drainase yang memadai serta banyaknya sampah yang ada dalam saluran drainase; (v) Banyaknya rumah-rumah liar yang mengganggu kualitas lingkungan perkotaan; serta (vi) Lemahnya kualitas institusi/ lembaga pengelola PS PLP.

Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan air limbah, persampahan dan drainase permukiman adalah bagaimana melakukan penanganan secara lebih baik, sehingga diperoleh: (1) Peningkatan kualitas dan cakupan pelayanan air limbah, persampahan, dan drainase yang dapat mengiringi peningkatan pertumbuhan penduduk yang pesat terutama di daerah perkotaan; (2) Penurunan angka sakit dan kematian yang disebabkan oleh waterborne diseases terutama pada bayi dan anak-anak; (3) Pemenuhan sasaran Millenium Development Goals (MDGs) oleh pemerintah, yaitu : untuk dapat melayani separuh dari populasi penduduk yang belum mendapatkan akses sanitasi (air limbah dan sampah) sampai tahun 2015 secara bertahap; (4) Terciptanya lingkungan hidup yang bersih, sehat, nyaman, dan layak huni.
Untuk menghadapi tantangan ini diperlukan Kebijakan Pemerintah sebagai terobosan, yaitu dengan melibatkan peran serta masyarakat, lembaga masyarakat dan pihak swasta.
Ketentuan mengenai kerjasama pemerintah dengan badan usaha swasta telah diatur dalam Perpres No.67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan badan usaha swasta. Selain itu juga telah diatur dalam UU no 7 tahun 2004 tentang SDA dan PP No.16 tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM).

1.2 Sekilas mengenai KPS

Secara singkat KPS dapat didefinisikan sebagai suatu kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak kerja sama legal antara Pemerintah dan badan usaha swasta, dimana pihak swasta menyediakan aset dan atau menyelenggarakan pelayanan, dengan memperoleh imbalan pembayaran. Imbalan pembayaran tersebut diperhitungkan berdasar besaran pengembalian biaya modal dan bunganya yang telah dikeluarkan selama masa berlangsungnya kontrak kerjasama (konsesi). Imbalan pembayaran tersebut tergantung pula dari tingkat kinerja pelayanan yang diselenggarakan dalam jangka panjang selama masa berlangsungnya kontrak kerjasama (konsesi).
Kerjasama Pemerintah dengan Swasta/KPS dilakukan melalui suatu Perjanjian Kerja Sama (PKS) atau Kontrak, antara instansi pemerintah dengan badan usaha/pihak swasta, dimana:
• Pihak swasta melaksanakan sebagian fungsi pemerintah selama waktu tertentu
• Pihak swasta menerima kompensasi atas pelaksanaan fungsi tersebut, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
• Pihak swasta bertanggungjawab atas resiko yang timbul akibat pelaksanaan fungsi
tersebut, dan
• Fasilitas pemerintah, lahan atau aset lainnya dapat diserahkan atau digunakan oleh pihak
swasta selama masa kontrak.

Dasar kerjasama dalam KPS adalah antara lain :
• Kerjasama saling menguntungkan
• Sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Pembangunan Infrastruktur
• Sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah serta KepMendagri No. 17 Tahun 2007
• Dan sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

1.3 Konsep Kerjasama KPS dalam Layanan Sanitasi

Strategi yang disusun agar memungkinkan pihak swasta ingin lebih berperan serta dalam penyediaan layanan sanitasi, secara garis besar adalah sebagai berikut :
1. Membentuk aturan yang kompetitif dan transparan ataupun mekanisme kerjasama pemerintah dan swasta yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat
2. Melembagakan sistem penyelenggaraan sanitasi dengan pelibatan swasta dan masyarakat sebagai operator layanan
3. Pengembangan berbagai jenis dan mekanisme subsidi sanitasi
4. Penyelenggaraan dengan pengembangan sistem insentif
5. Pemberdayaan usaha ekonomi kelompok masyarakat miskin (propoor sanitation). Secara khusus, mekanisme kerjasama pemerintah dan swasta telah diatur dalam Perpres 67/ 2005 yang diantaranya mengatur aspek penanganan persampahan.

1.4 Layanan Sanitasi Melalui KPS

Melalui strategi yang telah disebutkan diatas tersebut diharapkan sebagian beban layanan sanitasi dapat diambil alih ke pihak swasta. Adapun layanan sanitasi yang dapat digarap swasta antara lain :
1. Kontrak pelayanan untuk menyapu jalan raya di wilayah tertentu
2. Kontrak pelayanan untuk mengangkat sampah dari wilayah tertentu/ tempat pembuangan sementara (TPS) dan membawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
3. Kontrak pelayanan pemeliharaan kebersihan taman kota
4. Kontrak pengelolaan untuk mengelola TPA atau IPST (Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu; pemilahan, pemusnahan, pengomposan dan cut and fill (sanitary landfill)
5. Kontrak pelayanan beberapa kombinasi kegiatan pelayanan yang tersebut di atas
6. Kontrak konsesi untuk menangani semua tugas persampahan tersebut diatas
7. Konsesi pengelolaan air limbah untuk wilayah pelayanan tertentu termasuk IPLT
8. Konsesi wilayah pelayanan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL)
9. Kontrak pelayanan untuk Mandi Cuci Kakus komunal di daerah padat penduduk
10. Kontrak pelayanan penagihan iuran ke pelanggan
11. Kontrak operasional dan pemeliharaan IPAL
12. Kontrak pelayanan pemasangan jaringan IPAL
13. Kontrak manajemen untuk pengelolaan IPAL
14. Kontrak pelayanan untuk beberapa kombinasi kegiatan pelayanan
15. Kontrak pelayanan Operasi dan pemeliharaan serta perbaikan alur drainase;
16. Kontrak pelayanan untuk pemantauan pengendali banjir di wilayah padat penduduk;
17. Kontrak pelayanan normalisasi saluran drainase;
18. Kontrak pelayanan pembersihan drainase;
19. Kontrak manajemen untuk sistem drainase di lingkungan permukiman.

ABORSI : ANTARA HAK JANIN DAN CALON IBU (SUATU TINJAUAN AKSIOLOGI)

Oleh : Teguh Indra Budiman


I. Pendahuluan
Aborsi masih merupakan salah satu perdebatan moral dan sosial hingga saat ini. Terdapat beberapa pihak yang menyajikan argumen kuat sebagai pendukung (proponen) atau penentang (opponen) atas aborsi. Pihak “pro-life” menekankan argumen dalam memelihara hidup manusia sejak pembuahan hingga pada poin memberikan prioritas absolut terhadap hidup janin di atas hidup seorang ibu.
Sedangkan pihak “pro-choice” menekankan pada argumen bahwa wanita harus mempunyai hak kontrol atas tubuhnya, hingga pada titik absolut dari phenomena alami atas perkembangan proses pembentukan kehidupan[1].

Perdebatan sentral ini merupakan perdebatan atas basis hak (rights-based) atau yang disebut sebagai deontological[2]. Kerangka pemikiran mengenai aborsi memiliki karakteristik unik antara pendukung dan penentang konsep aborsi, seperti yang diutarakan oleh Luker dalam bukunya “Abortion and the Politics of Motherhood” yang menyatakan “each side of the abortion debate has an internally coherent and mutually shared view of the world that is . . . completely at odds with the world view held by their opponents”[3]. Berikut ini akan diuraikan proses dan perspektif yang mendasari pihak pendukung dan penentang aborsi dengan dalil-dalih yang mendukung pemikiran yang ada. Selain itu perspektif agama juga dimasukkan sebagai salah satu referensi atas konsep dan tindakan dari aborsi.

II. Lingkup Bahasan
Cakupan bahasan dalam tulisan ini difokuskan pada dua hal, yaitu (i) hak janin dan (ii) hak calon ibu (wanita hamil). Walaupun diketahui bersama, bahwa cakupan aborsi melibatkan juga dinamika sosial, namun tulisan ini diinternalisasi pada hak individual dari janin dan wanita hamil (vis-a-vis) sebagai fokus perhatian utama.

III. Definisi Aborsi
Aborsi secara umum adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan[4]. Secara lebih spesifik, Ensiklopedia Indonesia memberikan pengertian aborsi sebagai berikut: “Pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.” Definisi lain menyatakan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi juga diartikan sebagai suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh[5].

IV. Pro-Kontra Mengenai Aborsi
4.1 Pihak Anti Aborsi
Beberapa pihak yang anti aborsi konservatif (anti-abortionists, aktivis pro-life) mempunyai pandangan ekstrem, berpendapat bahwa manusia (human personhood) dimulai dari zigot, yaitu sel telur yang telah dibuahi, sehingga memiliki konsekuensi pengguguran janin merupakan suatu tindakan pembunuhan. Namun hal ini ditentang oleh pihak yang moderat, dimana terdapat perkembangan moral atas proses perkembangan biologis (dari zigot sampai pada kelahiran) yang menentukan tentang justifikasi atau tidaknya suatu aborsi. Menurut pihak moderat, terdapat proses gradual mulai dari pembentukan janin sampai dengan terlahirnya bayi, dimana janin bukan/belum merupakan manusia seutuhnya, namun masih merupakan cikal bakal manusia (human offspring) yang memiliki status moral yang berbeda.

Pendirian Konservatif berpendapat bahwa aborsi tidak pernah boleh dilakukan dalam keadaan apa pun juga, dikarenakan alasan agama dan filosofis diantaranya kesucian kehidupan, larangan untuk memusnahkan kehidupan manusia yang tidak bersalah, dan ketakutan akan implikasi sosial dari kebijakan aborsi yang liberal bagi orang lain yang tidak bisa membela diri, seperti orang cacat dan kaum lanjut usia.

Argumen standar dalam penentangan atas aborsi dengan menggunakan silogisme praktis[6] adalah sebagai berikut :
1. Pembunuhan atas manusia ialah dilarang
2. Janin merupakan (awal) manusia (human being)
3. Sehingga membunuh janin dilarang

Jadi, aborsi tidak diizinkan karena pembunuhan merupakan hal yang dilarang. Namun, silogisme praktis diatas dapat dipertanyakan, terutama atas kedua premis yang mendasarinya. Pertama, terdapat kemungkinan situasi dimana premis pertama dapat dipertanyakan. Sebagai contoh, membunuh untuk mempertahankan diri sendiri (self-defense) tidaklah dilarang. Kedua, bahwa dalam premis kedua dapat juga dipertanyakan karena tidak jelasnya apakah janin merupakan manusia (dalam artian sebagai orang seutuhnya) atau hanya merupakan cikal bakal manusia, yang masih terlalu awal untuk dikatakan sebagai orang (as a person). Sederhananya, masyarakat umum akan menolak bahwa janin merupakan (sese)orang, tapi mengakui bahwa bayi berumur 2 tahun dapat dikatakan sebagai (sese)orang. Hal ini terutama karena bayi telah memiliki kesadaran (consciousness), kapasitas berfikir dan rasionalitas dalam taraf tertentu yang belum dimiliki oleh janin.

4.2 Pihak Pro-Aborsi
Mary Ann Warren membuat beberapa kriteria agar dapat menciptakan suatu konsensus dari pertanyaan apakah janin dapat disebut sebagai (sese)orang/(person) dengan status moral yang melekat didalamnya. Dengan kriteria ini, jika janin merupakan (sese)orang, maka secara umum aborsi dapat dikatakan dilarang. Dengan kriteria yang telah disusun oleh Warren, diharapkan pihak pro-aborsi dan anti-aborsi dapat memperoleh suatu bagian titik temu[7].
Kriteria ini adalah sebagai berikut :
1. Kesadaran (consciousness) - atas objek dan peristiwa (internal dan eksternal), dan terutama kapasitas untuk merasakan perasaan sakit
2. Pemikiran (reasoning), yaitu kapasitas untuk menyelesaikan permasalahan yang relatif baru dan kompleks
3. Aktivitas atas dorongan sendiri (self-motivated activity)
4. Kapasitas untuk berkomunikasi
5. Kehadiran atas konsep diri sendiri (self-concept) dan kesadaran diri sendiri (self-awareness)

Dari lima kriteria yang disebutkan diatas, janin hanya sesuai dengan kriteria pertama, yaitu kesadaran (inipun jika janin telah dapat merasakan kesakitan).Dengan menggunakan kriteria di atas, dapat disimpulkan bahwa janin - walaupun memiliki potensi untuk menjadi orang -, belum memiliki kecukupan kriteria untuk disebut sebagai orang yang memiliki hak untuk hidup. Walaupun begitu, argumen ini masih memiliki kelemahan karena dapat membenarkan pada konsep/ pemahaman atas pembunuhan bayi, yang secara konsepsi ditolak oleh penggagasnya sendiri. Hal ini dikarenakan terdapat kriteria yang tidak/belum dimiliki bayi untuk dapat dikatakan sebagai orang seutuhnya.

Beberapa penulis yang mendukung hal ini juga menguatkan dengan kriteria yang tidak jauh berbeda, yang menyimpulkan bahwa embrio memiliki sedikit hak untuk hidup karena tidak memiliki kesadaran diri sendiri (self-consciousness), rasionalitas, atau kapasitas psikologi tertentu yang belum memadai.

Posisi yang lebih moderat dalam mendukung aborsi direpresentasikan oleh Jane English, dimana dijelaskan bahwa jika menilik asumsi dari sudut pandang konservatif bahwa janin merupakan cikal bakal orang seutuhnya (full-fledged person), maka masih terdapat peristiwa dimana aborsi dapat dijustifikasi untuk menghindari akibat fatal atau kematian dari seorang wanita[8]. Dalam bulan awal kelahiran, dimana bentuk janin belum terbentuk secara utuh menjadi bentukan bayi, aborsi diizinkan untuk kepentingan wanita hamil atau keluarganya. Dipertengahan proses kehamilan, dimana janin hampir terbentuk menjadi manusia, aborsi dapat dijustifikasi hanya ketika keberlanjutan kehamilan atau kelahiran dari bayi akan mengakibatkan hal negatif – secara fisik, psikologi, sosial dan ekonomi -- dari calon ibu.

Judith Jarvis Thomson dalam tulisannya yang terkenal “A Defense of Abortion” juga menguatkan kesimpulan mengenai aborsi yang menyatakan bahwa walaupun janin memiliki hak untuk hidup, kita masih bisa menjustifikasi aborsi untuk alasan hak wanita untuk memiliki hidup, integritas, dan privasi[9].

4.3 Padangan Islam Mengenai Aborsi
Al Baghdadi menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya[10].

Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh[11].

Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Secara umum, fikih mengenai aborsi memperbolehkan dengan beberapa persyarakat kondisi dan situasi yang melingkupinya terutama dalam mendukung upaya penguatan hak reproduksi perempuan dalam menghindari Kehamilan yang Tidak Dikehendaki (KTD) maupun mencegah terjadinya kematian ibu.

V. Kesimpulan
Dua kutub antara pihak pro-life dan pro-choice memberikan pandangan terhadap sikap dan posisinya dalam melihat konsep dan implementasi aborsi. Dari kedua konsep yang telah dipaparkan, setidak terdapat benang merah yang dapat di tarik dimana aborsi dapat dijustifikasi untuk menghindari akibat fatal atau kematian dari seorang wanita. Hal ini juga didukung oleh sebagian besar pemuka Islam mengenai aborsi, terutama aborsi sebelum peniupan ruh pada janin (4 bulan) dalam mendukung upaya penguatan hak reproduksi perempuan dalam menghindari Kehamilan yang Tidak Dikehendaki (KTD) maupun mencegah terjadinya kematian ibu.




DAFTAR PUSTAKA

§ Abortion, Internet Encyclopedia of philosophy, www.iep.utm.edu
§ Al Baghdadi, Abdurrahman, “Emansipasi Adakah Dalam Islam”, Gema Insani Press, 1998, Jakarta
§ English, Jane, "Abortion and the Concept of a Person", Canadian Journal of Philosophy, Vol. 5, no.2, pp. 233-243, 1975
§ Hillar, M and F. Prahl, Philosophers And The Issue Of Abortion, Published in Essays in the Philosophy of Humanism, eds., American Humanist Association, Houston, 1997, pp. 131-140
§ Kapita Seleksi Kedokteran, Edisi 3, halaman 260
§ Luker, Kristin, Abortion and the Politics of Motherhood, Berkeley: University of California Press. 1984
§ Paper dalam acara Kajian Ijtihad Kedokteran Kontemporer dengan judul “Cara Pandang Agama Islam Tentang Aborsi”, FK UNAIR, September 2001
§ Thomson, Judith J,., “A Defense of Abortion,” in: The Problem of Abortion,1984
§ Warren, Mary Anne, "On the Moral and Legal Status of Abortion," The Monist, Vol. 57, no.4, 1973 dalam tulisan M. Hillar and F. Prahl, Philosophers And The Issue Of Abortion, Published in Essays in the Philosophy of Humanism, eds., American Humanist Association, Houston, 1997, pp. 131-140


KETERANGAN Footnote :

[1] M. Hillar and F. Prahl, Philosophers And The Issue Of Abortion, Published in Essays in the Philosophy of Humanism, eds., American Humanist Association, Houston, 1997, pp. 131-140
[2] Deontological merupakan suatu pendekatan terhadap etika (ethics) yang menentukan moralitas atas suatu tindakan berdasarkan adherensi aksi dari suatu/serangkaian peraturan
[3] Kristin Luker, Abortion and the Politics of Motherhood, Berkeley: University of California Press. 1984
[4] http://www.jender.or.id/
[5] Kapita Seleksi Kedokteran, Edisi 3, halaman 260
[6] Abortion, Internet Encyclopedia of philosophy, http://www.iep.utm.edu/
[7] Mary Anne Warren, "On the Moral and Legal Status of Abortion," The Monist, Vol. 57, no.4, 1973 dalam tulisan M. Hillar and F. Prahl, Philosophers And The Issue Of Abortion, Published in Essays in the Philosophy of Humanism, eds., American Humanist Association, Houston, 1997, pp. 131-140
[8] Jane English, "Abortion and the Concept of a Person," Canadian Journal of Philosophy, Vol. 5, no.2, pp. 233-243, 1975
[9] Judith J Thomson,., “A Defense of Abortion,” in: The Problem of Abortion,1984
[10] • Abdurrahman Al Baghdadi, “Emansipasi Adakah Dalam Islam”, Gema Insani Press, 1998, Jakarta
[11] Paper dalam acara Kajian Ijtihad Kedokteran Kontemporer dengan judul “Cara Pandang Agama Islam Tentang Aborsi”, FK UNAIR, September 2001

Jumat, 12 Maret 2010

Perkembangan Konsep dan Pemikiran Mengenai Teori Aglomerasi

Oleh Teguh Indra Budiman


PENDAHULUAN
Teori mengenai aglomerasi dapat digolongkan dalam perspektif klasik atau moderen. Perspektif klasik percaya bahwa aglomerasi merupakan suatu bentuk spasial dan diasosiasikan dengan konsep “penghematan akibat aglomerasi” (economies of agglomeration) melalui konsep eksternalitas. Para pendukung perspektif ini telah meletakkan dasar-dasar model mikro mengenai eksternalitas akibat adanya skala ekonomis[1]. Namun begitu, konsep aglomerasi merupakan “catch-all concept” yang masih sangat sulit untuk diukur dalam studi empiris[2].
Belakangan jalur pemikiran ini ditindaklanjuti dengan berbagai studi empiris yang mencoba menganalis dan mengestimasi besarnya skala ekonomis. Persepektif moderen menunjukkan perkembangan lebih lanjut dari teori klasik mengenai aglomerasi. Pada konteks ini, tiga jalur pemikiran dapat diidentifikasi. Pertama, teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis (dynamic externalities). Kedua, aliran pertumbuhan perkotaan. Ketiga, paradigma berbasis biaya transaksi[3].

TEORI KLASIK
Dalam menjelaskan fenomena aglomerasi, banyak ekonom mendefinisikan kota sebagai hasil dari proses produksi aglomerasi secara spasial. Dalam studi perkotaan yang secara intensif dilakukan oleh para ekonom dapat diidentifikasi empat periode evolusi pemikiran . Pada periode pertama, yaitu beberapa dasawarsa setelah perang dunia I, di mana fokus analisisnya adalah pada faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi perusahaan dan rumah tangga dalam suatu kota. Pada periode kedua, yang dimulai pada pertengahan dasawarsa 1960-an, kebanyakan studi memformalkan model yang mencoba menjelaskan daya tarik lokasi kawasan perkotaan. Periode ketiga muncul dari analisis yang intensif mengenai kota-kota utama di Amerika Serikat (misalnya, New York) dan memperkenalkan konsep eksternalitas yang muncul akibat adanya skala ekonomis. Saat kini, kita berada dalam pertengahan periode keempat dalam mencoba untuk memahami perekonomian kota. Pada periode ini, kota digunakan untuk menganalis arti dan sebab-sebab pertumbuhan ekonomi. Kebanyakan aglomerasi secara implisit mengasumsikan bahwa formasi dan perkembangan kota dapat dipahami bila mekanisme konsentrasi produksi secara spasial telah di mengerti dengan benar.

Gambar 2.1.
Pemikiran Mengenai Aglomerasi


Sumber : Mudrajad Kuncoro, Analisis Spasial dan Regional : Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia, UPP AMP YKPN, 2002, hal 25

Teori klasik mengenai aglomerasi beragumen bahwa aglomerasi muncul karena para pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan aglomerasi, baik karena penghematan lokalisasi maupun penghematan urbanisasi dengan mengambil lokasi yang saling berdekatan satu sama lain. Aglomerasi ini mencerminkan adanya sistem interaksi antara pelaku ekonomi yang sama ; apakah antar perusahaan dalam industri yang sama, antar perusahaan dalam industri yang berbeda, atau antara individu, perusahaan dan rumah tangga. Di lain pihak, kota adalah suatu daerah keanekaragaman yang menawarkan manfaat kedekatan lokasi konsumen maupun produsen.

Gambar 2.2
Eksternalitas Spasial


Sumber: Frank Van Oort, Agglomeration, Economic Growth, and Innovation “Spatial analysis of growth- and R&D externalities in the Netherlands”, Tinbergen Institute, 2002

Pendekatan lain adalah mengkaitkan aglomerasi sebagai bentuk spasial dengan konsep “penghematan aglomerasi” melalui konsep eksternalitas. Hal ini dibedakan antara 1) penghematan internal (internal economies) dan penghematan eksternal (external economies), 2) penghematan akibat skala ekonomis dan cakupan (economies of scale & economies of scope).
Penghematan internal adalah suatu pengurangan biaya secara internal di dalam suatu perusahaan atau pabrik. Seberapa jauh pengurangan biaya dapat dicapai pada suatu perusahaan tergantung apakah efisiensi dapat ditingkatkan atau dipertahankan. Beberapa faktor yang berperan dalam pengurangan biaya secara internal meliputi: pembagian kerja (spesialisasi), digantinya tenaga manusia dengan mesin, melakukan sub-kontrak beberapa aktivitas proses produksi kepada perusahaan lain, dan menjaga titik optimal operasi yang meminimalkan biaya.

Sedangkan penghematan eksternal merupakan pengurangan biaya yang terjadi akibat aktivitas di luar lingkup perusahaan atau pabrik. Sebagaimana halnya suatu perusahaan dapat mencapai penghematan biaya secara internal dengan memperluas produksi atau meningkatkan efisensi, suatu atau beberapa industri dapat memperoleh penghematan eksternal dengan ber-aglomerasi secara spasial. Penghematan biaya terjadi berkat adanya perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama bersaing satu sama lain dalam memperoleh pasar atau konsumen. Penghematan juga terjadi karena adanya tenaga terampil dan bahan baku dalam daerah tersebut, yang menopang jalannya usaha perusahaan. Dalam hal ini daerah perkotaan menawarkan manfaat aglomerasi industri maupun penduduk, yang diperkuat dengan adanya sarana dan prasarana seperti pendidikan, air, transportasi, dan hiburan, yang kesemuanya itu memungkinkan adanya penghematan biaya.

Penghematan akibat skala ekonomis muncul karena perusahaan menambah produksi dengan cara memperbesar pabrik. Penghematan biaya terjadi dengan meningkatnya skala pabrik sehingga biaya produksi per unit dapat ditekan. Ini berbeda dengan penghematan akibat cakupan yang terjadi karena sejumlah aktivitas atau sub-unit usaha secara internal maupun eksternal dapat dilakukan pada saat yang bersamaan sehingga menghemat biaya.

TEORI LOKASI INDUSTRI (Industrial Location Theory)
Weber pada tahun 1929 memberikan penjelasan mengenai penghematan aglomerasi sebagai biaya yang dapat di hemat oleh perusahaan sebagai hasil dari peningkatan konsentrasi spasial. Tetapi dalam hal ini, Weber tidak memberikan perhatiannya terhadap apa yang menyebabkan terjadinya penghematan aglomerasi secara lengkap, melainkan hanya memberikan penjelasan bahwa hal tersebut dikarenakan variasi eksternal dari skala ekonomis internal. Hal ini dikarenakan tujuan penelitiannya yaitu untuk membuat model mengenai bagaimana suatu penghematan dapat menciptakan aglomerasi, bukannya untuk mengidentifikasi mengapa penghematan itu dapat terjadi. Dan ini sering dijadikan sebagai dasar pendekatan teori dan metodologi tradisional dalam ekonomi perkotaan dan regional dalam menganalisis eksternalitas[4].

TEORI MARSHALL
Marshall mendefinisikan penghematan skala eksternal (external scale economies) sebagai biaya yang dapat di hemat oleh perusahaan karena ukuran atau pertumbuhan output dalam industri yang bersangkutan secara umum. Penghematan ini berbeda dengan penghematan dalam skala internal (internal scale economies) di mana sumber dari increasing returns pertumbuhan suatu perusahaan berasal dari ukuran perusahaan tersebut. Penghematan eksternal yang dijelaskan oleh Marshall merupakan penghematan spasial yang diakibatkan dari pengaruh secara ekonomi dari adanya kedekatan lokasi (proximity) antara pihak-pihak yang berkepentingan secara ekonomi (economic actors).

Pengaruh ini dalam perkembangannya dapat di tinjau dari sisi pengaruh statis ataupun dinamis, serta pengaruh yang berkaitan dengan teknologi. Penghematan eksternal secara statik didapatkan oleh perusahaan dalam suatu kluster (industrial district) ialah akibat pengurangan biaya yang diperoleh dari input-input antara (intermediate inputs) dengan adanya kedekatan lokasi dengan pemasok (contohnya ialah pengurangan biaya pengapalan barang). Dalam hal ini, tidak ada peranan pemerintah untuk mendorong kluster secara geografis karena keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan diasumsikan lebih besar dari pada kerugian yang diperoleh (contoh : kemacetan), sehingga dengan sendirinya perusahaan-perusahaan akan menciptakan suatu kluster. Sedangkan penghematan eksternal yang dinamis berhubungan dengan proses belajar, inovasi, dan peningkatan dalam spesialisasi. Marshall mengilustrasikan bekerjanya penghematan eksternal dengan adanya distrik-distrik industri, di mana setiap perusahaan memperoleh keuntungan-keuntungan dari adanya tenaga kerja dalam jumlah besar dan terampil, besarnya kesempatan untuk melakukan spesialisasi secara intensif, dan mempertinggi penyebaran informasi dan pengetahuan yang spesifik dalam industri (industry-specific knowledge and information).



PERSPEKTIF MODERN
Kelemahan mendasar penggolongan penghematan aglomerasi versi klasik adalah tidak diperhitungkan berbagai biaya yang hendak diminimalkan oleh perusahaan. Ini disebabkan adanya dua fenomena yang sering dijumpai dalam praktek namun tidak mampu dijelaskan oleh paradigma yang ada. Pertama, banyak perusahaan memiliki sedikit, atau bahkan tidak memiliki kaitan transaksi dengan perusahaan-perusahaan lokal pada industri yang sama kendati terdapat kluster industri yang kuat di daerah itu. Kedua, banyak perusahaan yang hanya memiliki sedikit, atau bahkan tidak memiliki kaitan transaksi sama sekali dengan perusahaan lain ataupun rumah tangga dalam daerah yang sama (biasanya perkotaan) kendati daerah tersebut memiliki berbagai kluster industri[5].

Eksternalitas Dinamis
Pada awalnya, teori mengenai aglomerasi memberikan analisisnya secara statik. Industri atau perusahaan cenderung untuk berlokasi dalam wilayah yang berdekatan dan menciptakan suatu kuster. Biasanya hal yang dianalisis ialah mengenai pola dari konsentrasi dan lokasi dari industri yang bersangkutan, bukannya proses dinamis dari pertumbuhan dalam industri yang ter-aglomerasi. Pada mula-mula pembahasan berhubungan dengan peningkatan efisiensi transaksi barang dan jasa dari perusahaan-perusahaan, yang dipercaya akibat dari berlokasi secara berdekatan[6].

Teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis percaya bahwa akumulasi informasi pada suatu lokasi tertentu akan meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja. Pendekatan ini menjelaskan secara bersamaan bagaimana kota-kota terbentuk dan mengapa mereka tumbuh. Eksternalitas dinamis versi Marshall-Arrow-Romer (MAR) menekankan pada pentingnya transfer pengetahuan (knowledge spillovers) antar perusahaan dalam suatu industri, yang diperoleh melalui komunikasi yang terus berlangsung antar perusahaan lokal dalam industri yang sama. Kasus industri chip computer di Silicon Valley, AS menunjukkan bahwa terjadinya penyebaran ide-ide baru dan inovasi secara cepat di antara perusahaan yang berdekatan melalui duplikasi, pengamatan, dan gerak tenaga kerja yang amat terampil antar perusahaan[7].

Eksternalitas ini merupakan faktor yang sangat penting ketika tingkat kompetisi di tingkat lokal tidak besar, sehingga biaya yang berhubungan dengan pengetahuan-spesifik suatu sektor dapat di-internalisasi. Ini menjadi gagasan bahwa pasar monopoli lokal dapat meningkatkan pertumbuhan dibandingkan dengan pasar persaingan sempurna, karena perusahaan monopoli dapat membatasi gagasan-gagasan (ideas) kepada pihak lain sehingga dapat menciptakan internalisasi-inovasi. Di sisi lain, Porter mempunyai pandangan yang berbeda dengan MAR externalities, dimana dijelaskan bahwa persaingan lokal dapat meningkatkan inovasi suatu sektor. Kedua kerangka pemikiran antara penghematan MAR dan Porter pada dasarnya tercakup dalam konsep penghematan lokalisasi yang sering digunakan oleh para peneliti-peneliti dalam cakupan ekonomi geografi.

Jacobs, di lain pihak, percaya bahwa sumber transfer pengetahuan yang paling penting berasal dari “luar” industri inti. Industri pakaian dalam wanita, sebagai contoh, tumbuh dari inovasi para desainer pakaian dan bukan dari industri pakaian dalam wanita itu sendiri. Jadi, inovasi dan pertumbuhan mengalir dari keanekaragaman industri yang saling berdekatan lokasinya dan bukan karena spesialisasi. Dengan kata lain hal ini menjelaskan bahwa diversitas merupakan kunci utama dari penghematan aglomerasi.

Pengamatan Jacobs yang menitikberatkan pada diversitas merupakan konsep dari pengematan urbanisasi yang merefleksikan penghematan eksternal yang didapatkan perusahaan sebagai hasil dari penghematan aktivitas dalam skala besar dari kota secara keseluruhan. Semakin besar suatu kota, maka semakin mudah untuk mengakses fasilitas-fasilitas yang tersedia dalam sebuah kota seperti ; universitas, laboratorium penelitian industri, kamar dagang dan lainnya (tidak dalam bidang ekonomi saja , tetapi dalam bidang sosial, politik, dan budaya), yang kesemuanya itu dapat mendukung absorsi pengetahuan know-how dan inovasi. Industri yang beraneka ragam dalam wilayah perkotaan juga memberikan kesempatan kepada setiap perusahaan untuk berinteraksi, melakukan modifikasi dan duplikasi, serta pembaruan dengan perusahaan lain, baik dalam sektor yang sama ataupun berbeda. Spesialisasi dalam suatu perusahaan dalam industri yang beraneka ragam dalam suatu perkotaan menjadikan adanya interdependensi spasial dan menghasilkan keuntungan-keuntungan bagi semua pihak dalam wilayah tersebut[8].

Tabel 2.1
Klasifikasi dari Penghematan Lokalisasi dan Urbanisasi

Penghematan Lokalisasi
Penghematan Urbanisasi
Eksternalitas Statik







Eksternalitas Dinamis
Aksesibilitas terhadap :
ü besarnya pasar tenaga kerja terampil
ü besarnya jumlah perusahaan dalam industri yang sama/terkait
ü supplier / pemasok yang terspesialisasi

Aksesibilitas terhadap transfer pengetahuan yang spesifik
Aksesibilitas terhadap :
ü pasar yang besar dan ter-diversifikasi untuk barang jadi (final good)
ü pasar yang besar dan ter-diversifikasi untuk input
ü pasar tenaga kerja yang berkualitas dan ter- diversifikasi
Aksesibilitas terhadap transfer pengetahuan yang bermacam-macam

Sumber : Roberta Capello, Entrepreneurship and spatial externalities: Theory and measurement, The Annals of Regional Science, 2002

Paradigma Pertumbuhan Kota (Urban Growth School)
Pertumbuhan kota ternyata meliputi berbagai faktor yang lebih kompleks daripada sekedar penghematan aglomerasi. Teori skala kota yang optimum (Theories of optimum city size) yang dikaji ulang oleh Fujita & Thisse, menggambarkan ekuilibrium konfigurasi spasial dari aktivitas ekonomi sebagai hasil tarik menarik antara kekuatan sentrifugal dan sentripetal. Kekuatan sentripetal (centripetal forces), ditunjukkan oleh penghematan aglomerasi adalah semua kekuatan yang menarik aktivitas ekonomi ke daerah perkotaan. Sedangkan kekuatan sentrifugal (centrifugal forces) adalah kebalikan dari kekuatan sentripetal, yaitu kekuatan disperse/penyebaran. Ini diakibatkan karena tingginya upah tenaga kerja di daerah perkotaan sehingga mendorong perusahaan memilih lokasi di luar kota. Pertumbuhan kota juga cenderung meningkatkan harga tanah secara riil karena jumlahnya tidak bertambah. Selain itu kota-kota besar juga menimbulkan eksternalitas negatif yang sering diasosiasikan dengan polusi lingkungan dan kemacetan,

Analisis Berbasis Biaya Transaksi
Ronald Coase adalah pengembang dari analisis biaya transaksi dimana diterangkan bahwa biaya transaksi tidak hanya mempengaruhi penyusunan kontrak tetapi juga mempengaruhi barang dan jasa yang diproduksi. Analisis biaya transaksi merupakan paradima yang cukup bermanfaat dalam menganalisis fenomena ekonomi tertentu, khususnya dikaitkan dengan analisis aglomerasi. McCann pada tahun 1995 menawarkan suatu teori aglomerasi moderen berdasarkan analisis biaya transaksi . Ia memberikan beberapa alternatif definisi atas berbagai jenis penghematan aglomerasi dengan menarik suatu perbedaan yang fundamental antara biaya yang terjadi untuk mengatasi masalah “jarak” atau “ruang”, dengan biaya yang mucul karena berlokasi pada suatu titik ruang. Hipotesisnya, ialah bahwa suatu perusahaan akan mencapai suatu keseimbangan keputusan untuk memenuhi kebutuhannya dalam hal : (1) biaya transaksi-jarak (distance-transaction cost) ; (2) biaya efisiensi faktor tertentu-lokasi (location-specific factor effiency cost) ; (3) biaya koordinasi-hirarki (hierarchy-co-ordination costs) ; dan (4) biaya alternatif kebetulan-hirarki (hierarchy- coincidence opportunity costs). Analisis di atas sangat relevan dalam analisis pengelompokan industri secara spasial terutama untuk industri skala besar dan sedang , dimana biaya transaksi memegang peranan penting dalam keputusan suatu perusahaan[9].

Penghematan Aglomerasi : Karakteristik dari Proses Produksi dan Kaitannya Dengan Produktivitas

Penghematan Lokalisasi

Terbentuknya penghematan eksternal dari aglomerasi dapat di lihat dari sisi yang melibatkan biaya dan penawaran.. Jika input yang dibutuhkan suatu perusahaan memiliki karakteristik yang berbeda-beda, maka kebutuhan untuk input-input tersebut dapat diperoleh secara efisien dengan menciptakan suatu kluster, dimana perusahaan penyedia input tersebut berada dalam suatu wilayah. Sebagai satu ilustrasi dimisalkan terdapat suatu perusahaan pakaian. Salah satu kebutuhan input perusahaan tersebut adalah kancing. Perlengkapan mesin untuk membuat kancing yang dibutuhkan itu memerlukan investasi yang besar bagi perusahaan pakaian, sehingga lebih efisien jika kebutuhan akan kancing diserahkan pada perusahaan yang bergerak dibidang pembuatan kancing. Selain itu. pertimbangan lainnya ialah pemakaian peralatan mesin yang dibutuhkan untuk membuat kancing tidak dapat digunakan dalam kapasitas penuh karena kebutuhan yang lebih kecil dari kapasitas optimum mesin, sehingga dapat memberikan peningkatan biaya secara tidak efisien.

Adanya suatu kluster akan menguntungkan bagi kedua belah pihak karena tiap perusahaan dapat ter-spesialisasi dalam bidangnya. Hal ini menjadikan proses produksi menjadi lebih sempit karena adanya spesialisasi produksi yang menjadikan bentuk perusahaan lebih ramping karena pemenuhan beberapa input diserahkan kepada pihak lain yang lebih ter-spesialisasi (melakukan sub-kontrak kepada perusahaan lain), memiliki tenaga kerja yang sedikit, dan juga terciptanya peningkatan produktivitas dalam pemenuhan input.

Sebagai hasil dari spesialisasi perusahaan dalam suatu kluster maka terdapat keuntungan skala ekonomis secara internal (internal economies of scale) yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas yang diperlihatkan penurunan dalam kurva biaya total rata-rata (ATC). Pada gambar 2.3 A, dijelaskan bahwa akibat dari berlokasinya perusahaan di dalam kluster telah mengakibatkan meningkatnya tingkat output dari Q0, ke Q1, Ini disebabkan dari penurunan biaya total rata-rata dari ATC() menuju ATC1.


Gambar 2.3


Sumber : Edgar M. Hoover and Frank Giarratani, An Introduction to Regional Economics, 1984

Peningkatan efisiensi dalam produksi sebagai hasil dari penciptaan suatu kluster dapat diperlihatkan dengan penurunan biaya total rata-rata untuk setiap tingkat output. Perubahan tersebut dapat dikarenakan oleh beberapa sumber. Sebagai contoh, jika skala ekonomis dapat diperoleh suatu perusahaan dalam suatu kluster, maka barang dan jasa yang diproduksi oleh perusahaan yang memproduksi input antara akan mempunyai biaya yang rendah untuk seluruh pembeli . Sehingga biaya input per unit perusahaan lain akan turun bagi yang menggunakan output perusahaan diatas. Hal serupa juga akan diperoleh perusahaan-perusahaan karena terdapat penghematan dalam biaya transfer (transfer costs) yang menurunkan penurunan biaya total rata-rata.

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan terdapat tiga tingkat dari penghematan ukuran (economies of size) dalam aktivitas tertentu :
- unit , penghematan yang berhubungan dengan ukuran unit lokasi (location unit)
- perusahaan, penghematan yang berhubungan dengan ukuran perusahaan (size of the individual firm)
- penghematan kluster, penghematan yang berhubungan dengan ukuran aglomerasi dalam suatu kegiatan di suatu wilayah

Penghematan Urbanisasi
Proses dalam menjelaskan aktivitas kluster di lihat dari beberapa segi dapat lebih kompleks. Perhatian secara detail mengenai aktivitas kluster yang besar memperlihatkan bahwa ketika suatu perusahaan (contoh: perusahaan pembuat kancing) menjadi terspesialisasi dalam bidangnya di dalam suatu wilayah, maka bidang-bidang lain yang mempunyai kaitan erat dalam proses produksi (seperti jasa transportasi, fasilitas dan jasa-jasa yang terkait dalam kelangsungan usaha) juga sangat dibutuhkan. Itu semua merupakan salah satu elemen penting dari aglomerasi perkotaan (urban agglomeration). Keberadaan dari jasa-jasa yang beragam yang memiliki kualitas baik yang tersedia di daerah perkotaan tergantung pada ukuran kota tersebut bila dibandingkan dengan ukuran konsentrasi lokal dari aktivitas-aktivitas yang disediakan.
Penghematan yang dihasilkan oleh aktivitas dan jasa-jasa ini merupakan suatu yang eksternal bagi aktivitas suatu kluster, tetapi merupakan suatu yang internal bagi wilayah perkotaan itu sendiri. Ini merupakan kasus penghematan urbanisasi (urbanization economies), dimana terdapat penghematan yang meningkat terhadap kluster-kluster, ketika ukuran perkotaan bertambah besar/komplek.



FOOTNOTE :

[1] Mudrajad Kuncoro, op cit, hal.25
[2] Harry W. Richardson, Urban Economics, Preager Publisher, New York, 1969, hal. 41
[3] Mudrajad Kuncoro, op cit, hal.25
[4] Edward M. Bergman & Edward J. Feser, Industrial and Regional Clusters: Concepts and Comparative Applications, The Web Book Of Regional Science, Regional Research Institute, West Virginia University, http://www.rri.wvu.edu/WebBook
[5] Mudrajad Kuncoro, op cit, hal. 29
[6] Frank Van Oort, Agglomeration, Economic Growth, and Innovation “Spatial analysis of growth- and R&D externalities in the Netherlands”, Tinbergen Institute, 2002, hal. 50
[7] Mudrajad Kuncoro, op cit, hal. 30
[8] Frank Van Oort, op cit
[9] Mudrajad Kuncoro, op cit, hal. 42