Minggu, 04 April 2010

Kerjasama Pemerintah-Swasta Dalam Bidang Sanitasi

Oleh: Teguh Indra Budiman

1.1 Latar Belakang
Penyediaan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan permukiman (PS PLP) atau sanitasi yang mencakup air limbah, persampahan, dan drainase merupakan salah satu prioritas dari Pemerintah Indonesia dalam menciptakan lingkungan permukiman yang sehat dan layak huni. PS PLP sangat erat kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Namun di sisi lain, ada keterbatasan pendanaan bagi pengembangan PS-PLP ini. Hal inilah menjadi salah satupenyebab, mengapa akses masyarakat terhadap prasarana dan sarana sanitasi saat ini masih rendah.

Beberapa parameter yang menunjukkan kinerja pelayanan penyehatan lingkungan permukiman saat ini masih rendah. Antara lain : (i) Tingginya angka sakit dan kematian yang disebabkan waterborne diseases; (ii) Cakupan akses pelayanan persampahan dan air limbah yang masih sangat kecil; (iii) Masih banyaknya keluhan masyarakat mengenai kebersihan perkotaan karena lemahnya penanganan dan pengelolaan sampah; (iv) Banjir yang masih terus terjadi sebagai akibat tidak adanya pelayanan drainase yang memadai serta banyaknya sampah yang ada dalam saluran drainase; (v) Banyaknya rumah-rumah liar yang mengganggu kualitas lingkungan perkotaan; serta (vi) Lemahnya kualitas institusi/ lembaga pengelola PS PLP.

Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan air limbah, persampahan dan drainase permukiman adalah bagaimana melakukan penanganan secara lebih baik, sehingga diperoleh: (1) Peningkatan kualitas dan cakupan pelayanan air limbah, persampahan, dan drainase yang dapat mengiringi peningkatan pertumbuhan penduduk yang pesat terutama di daerah perkotaan; (2) Penurunan angka sakit dan kematian yang disebabkan oleh waterborne diseases terutama pada bayi dan anak-anak; (3) Pemenuhan sasaran Millenium Development Goals (MDGs) oleh pemerintah, yaitu : untuk dapat melayani separuh dari populasi penduduk yang belum mendapatkan akses sanitasi (air limbah dan sampah) sampai tahun 2015 secara bertahap; (4) Terciptanya lingkungan hidup yang bersih, sehat, nyaman, dan layak huni.
Untuk menghadapi tantangan ini diperlukan Kebijakan Pemerintah sebagai terobosan, yaitu dengan melibatkan peran serta masyarakat, lembaga masyarakat dan pihak swasta.
Ketentuan mengenai kerjasama pemerintah dengan badan usaha swasta telah diatur dalam Perpres No.67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan badan usaha swasta. Selain itu juga telah diatur dalam UU no 7 tahun 2004 tentang SDA dan PP No.16 tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM).

1.2 Sekilas mengenai KPS

Secara singkat KPS dapat didefinisikan sebagai suatu kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak kerja sama legal antara Pemerintah dan badan usaha swasta, dimana pihak swasta menyediakan aset dan atau menyelenggarakan pelayanan, dengan memperoleh imbalan pembayaran. Imbalan pembayaran tersebut diperhitungkan berdasar besaran pengembalian biaya modal dan bunganya yang telah dikeluarkan selama masa berlangsungnya kontrak kerjasama (konsesi). Imbalan pembayaran tersebut tergantung pula dari tingkat kinerja pelayanan yang diselenggarakan dalam jangka panjang selama masa berlangsungnya kontrak kerjasama (konsesi).
Kerjasama Pemerintah dengan Swasta/KPS dilakukan melalui suatu Perjanjian Kerja Sama (PKS) atau Kontrak, antara instansi pemerintah dengan badan usaha/pihak swasta, dimana:
• Pihak swasta melaksanakan sebagian fungsi pemerintah selama waktu tertentu
• Pihak swasta menerima kompensasi atas pelaksanaan fungsi tersebut, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
• Pihak swasta bertanggungjawab atas resiko yang timbul akibat pelaksanaan fungsi
tersebut, dan
• Fasilitas pemerintah, lahan atau aset lainnya dapat diserahkan atau digunakan oleh pihak
swasta selama masa kontrak.

Dasar kerjasama dalam KPS adalah antara lain :
• Kerjasama saling menguntungkan
• Sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Pembangunan Infrastruktur
• Sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah serta KepMendagri No. 17 Tahun 2007
• Dan sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

1.3 Konsep Kerjasama KPS dalam Layanan Sanitasi

Strategi yang disusun agar memungkinkan pihak swasta ingin lebih berperan serta dalam penyediaan layanan sanitasi, secara garis besar adalah sebagai berikut :
1. Membentuk aturan yang kompetitif dan transparan ataupun mekanisme kerjasama pemerintah dan swasta yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat
2. Melembagakan sistem penyelenggaraan sanitasi dengan pelibatan swasta dan masyarakat sebagai operator layanan
3. Pengembangan berbagai jenis dan mekanisme subsidi sanitasi
4. Penyelenggaraan dengan pengembangan sistem insentif
5. Pemberdayaan usaha ekonomi kelompok masyarakat miskin (propoor sanitation). Secara khusus, mekanisme kerjasama pemerintah dan swasta telah diatur dalam Perpres 67/ 2005 yang diantaranya mengatur aspek penanganan persampahan.

1.4 Layanan Sanitasi Melalui KPS

Melalui strategi yang telah disebutkan diatas tersebut diharapkan sebagian beban layanan sanitasi dapat diambil alih ke pihak swasta. Adapun layanan sanitasi yang dapat digarap swasta antara lain :
1. Kontrak pelayanan untuk menyapu jalan raya di wilayah tertentu
2. Kontrak pelayanan untuk mengangkat sampah dari wilayah tertentu/ tempat pembuangan sementara (TPS) dan membawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
3. Kontrak pelayanan pemeliharaan kebersihan taman kota
4. Kontrak pengelolaan untuk mengelola TPA atau IPST (Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu; pemilahan, pemusnahan, pengomposan dan cut and fill (sanitary landfill)
5. Kontrak pelayanan beberapa kombinasi kegiatan pelayanan yang tersebut di atas
6. Kontrak konsesi untuk menangani semua tugas persampahan tersebut diatas
7. Konsesi pengelolaan air limbah untuk wilayah pelayanan tertentu termasuk IPLT
8. Konsesi wilayah pelayanan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL)
9. Kontrak pelayanan untuk Mandi Cuci Kakus komunal di daerah padat penduduk
10. Kontrak pelayanan penagihan iuran ke pelanggan
11. Kontrak operasional dan pemeliharaan IPAL
12. Kontrak pelayanan pemasangan jaringan IPAL
13. Kontrak manajemen untuk pengelolaan IPAL
14. Kontrak pelayanan untuk beberapa kombinasi kegiatan pelayanan
15. Kontrak pelayanan Operasi dan pemeliharaan serta perbaikan alur drainase;
16. Kontrak pelayanan untuk pemantauan pengendali banjir di wilayah padat penduduk;
17. Kontrak pelayanan normalisasi saluran drainase;
18. Kontrak pelayanan pembersihan drainase;
19. Kontrak manajemen untuk sistem drainase di lingkungan permukiman.

ABORSI : ANTARA HAK JANIN DAN CALON IBU (SUATU TINJAUAN AKSIOLOGI)

Oleh : Teguh Indra Budiman


I. Pendahuluan
Aborsi masih merupakan salah satu perdebatan moral dan sosial hingga saat ini. Terdapat beberapa pihak yang menyajikan argumen kuat sebagai pendukung (proponen) atau penentang (opponen) atas aborsi. Pihak “pro-life” menekankan argumen dalam memelihara hidup manusia sejak pembuahan hingga pada poin memberikan prioritas absolut terhadap hidup janin di atas hidup seorang ibu.
Sedangkan pihak “pro-choice” menekankan pada argumen bahwa wanita harus mempunyai hak kontrol atas tubuhnya, hingga pada titik absolut dari phenomena alami atas perkembangan proses pembentukan kehidupan[1].

Perdebatan sentral ini merupakan perdebatan atas basis hak (rights-based) atau yang disebut sebagai deontological[2]. Kerangka pemikiran mengenai aborsi memiliki karakteristik unik antara pendukung dan penentang konsep aborsi, seperti yang diutarakan oleh Luker dalam bukunya “Abortion and the Politics of Motherhood” yang menyatakan “each side of the abortion debate has an internally coherent and mutually shared view of the world that is . . . completely at odds with the world view held by their opponents”[3]. Berikut ini akan diuraikan proses dan perspektif yang mendasari pihak pendukung dan penentang aborsi dengan dalil-dalih yang mendukung pemikiran yang ada. Selain itu perspektif agama juga dimasukkan sebagai salah satu referensi atas konsep dan tindakan dari aborsi.

II. Lingkup Bahasan
Cakupan bahasan dalam tulisan ini difokuskan pada dua hal, yaitu (i) hak janin dan (ii) hak calon ibu (wanita hamil). Walaupun diketahui bersama, bahwa cakupan aborsi melibatkan juga dinamika sosial, namun tulisan ini diinternalisasi pada hak individual dari janin dan wanita hamil (vis-a-vis) sebagai fokus perhatian utama.

III. Definisi Aborsi
Aborsi secara umum adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan[4]. Secara lebih spesifik, Ensiklopedia Indonesia memberikan pengertian aborsi sebagai berikut: “Pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.” Definisi lain menyatakan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi juga diartikan sebagai suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh[5].

IV. Pro-Kontra Mengenai Aborsi
4.1 Pihak Anti Aborsi
Beberapa pihak yang anti aborsi konservatif (anti-abortionists, aktivis pro-life) mempunyai pandangan ekstrem, berpendapat bahwa manusia (human personhood) dimulai dari zigot, yaitu sel telur yang telah dibuahi, sehingga memiliki konsekuensi pengguguran janin merupakan suatu tindakan pembunuhan. Namun hal ini ditentang oleh pihak yang moderat, dimana terdapat perkembangan moral atas proses perkembangan biologis (dari zigot sampai pada kelahiran) yang menentukan tentang justifikasi atau tidaknya suatu aborsi. Menurut pihak moderat, terdapat proses gradual mulai dari pembentukan janin sampai dengan terlahirnya bayi, dimana janin bukan/belum merupakan manusia seutuhnya, namun masih merupakan cikal bakal manusia (human offspring) yang memiliki status moral yang berbeda.

Pendirian Konservatif berpendapat bahwa aborsi tidak pernah boleh dilakukan dalam keadaan apa pun juga, dikarenakan alasan agama dan filosofis diantaranya kesucian kehidupan, larangan untuk memusnahkan kehidupan manusia yang tidak bersalah, dan ketakutan akan implikasi sosial dari kebijakan aborsi yang liberal bagi orang lain yang tidak bisa membela diri, seperti orang cacat dan kaum lanjut usia.

Argumen standar dalam penentangan atas aborsi dengan menggunakan silogisme praktis[6] adalah sebagai berikut :
1. Pembunuhan atas manusia ialah dilarang
2. Janin merupakan (awal) manusia (human being)
3. Sehingga membunuh janin dilarang

Jadi, aborsi tidak diizinkan karena pembunuhan merupakan hal yang dilarang. Namun, silogisme praktis diatas dapat dipertanyakan, terutama atas kedua premis yang mendasarinya. Pertama, terdapat kemungkinan situasi dimana premis pertama dapat dipertanyakan. Sebagai contoh, membunuh untuk mempertahankan diri sendiri (self-defense) tidaklah dilarang. Kedua, bahwa dalam premis kedua dapat juga dipertanyakan karena tidak jelasnya apakah janin merupakan manusia (dalam artian sebagai orang seutuhnya) atau hanya merupakan cikal bakal manusia, yang masih terlalu awal untuk dikatakan sebagai orang (as a person). Sederhananya, masyarakat umum akan menolak bahwa janin merupakan (sese)orang, tapi mengakui bahwa bayi berumur 2 tahun dapat dikatakan sebagai (sese)orang. Hal ini terutama karena bayi telah memiliki kesadaran (consciousness), kapasitas berfikir dan rasionalitas dalam taraf tertentu yang belum dimiliki oleh janin.

4.2 Pihak Pro-Aborsi
Mary Ann Warren membuat beberapa kriteria agar dapat menciptakan suatu konsensus dari pertanyaan apakah janin dapat disebut sebagai (sese)orang/(person) dengan status moral yang melekat didalamnya. Dengan kriteria ini, jika janin merupakan (sese)orang, maka secara umum aborsi dapat dikatakan dilarang. Dengan kriteria yang telah disusun oleh Warren, diharapkan pihak pro-aborsi dan anti-aborsi dapat memperoleh suatu bagian titik temu[7].
Kriteria ini adalah sebagai berikut :
1. Kesadaran (consciousness) - atas objek dan peristiwa (internal dan eksternal), dan terutama kapasitas untuk merasakan perasaan sakit
2. Pemikiran (reasoning), yaitu kapasitas untuk menyelesaikan permasalahan yang relatif baru dan kompleks
3. Aktivitas atas dorongan sendiri (self-motivated activity)
4. Kapasitas untuk berkomunikasi
5. Kehadiran atas konsep diri sendiri (self-concept) dan kesadaran diri sendiri (self-awareness)

Dari lima kriteria yang disebutkan diatas, janin hanya sesuai dengan kriteria pertama, yaitu kesadaran (inipun jika janin telah dapat merasakan kesakitan).Dengan menggunakan kriteria di atas, dapat disimpulkan bahwa janin - walaupun memiliki potensi untuk menjadi orang -, belum memiliki kecukupan kriteria untuk disebut sebagai orang yang memiliki hak untuk hidup. Walaupun begitu, argumen ini masih memiliki kelemahan karena dapat membenarkan pada konsep/ pemahaman atas pembunuhan bayi, yang secara konsepsi ditolak oleh penggagasnya sendiri. Hal ini dikarenakan terdapat kriteria yang tidak/belum dimiliki bayi untuk dapat dikatakan sebagai orang seutuhnya.

Beberapa penulis yang mendukung hal ini juga menguatkan dengan kriteria yang tidak jauh berbeda, yang menyimpulkan bahwa embrio memiliki sedikit hak untuk hidup karena tidak memiliki kesadaran diri sendiri (self-consciousness), rasionalitas, atau kapasitas psikologi tertentu yang belum memadai.

Posisi yang lebih moderat dalam mendukung aborsi direpresentasikan oleh Jane English, dimana dijelaskan bahwa jika menilik asumsi dari sudut pandang konservatif bahwa janin merupakan cikal bakal orang seutuhnya (full-fledged person), maka masih terdapat peristiwa dimana aborsi dapat dijustifikasi untuk menghindari akibat fatal atau kematian dari seorang wanita[8]. Dalam bulan awal kelahiran, dimana bentuk janin belum terbentuk secara utuh menjadi bentukan bayi, aborsi diizinkan untuk kepentingan wanita hamil atau keluarganya. Dipertengahan proses kehamilan, dimana janin hampir terbentuk menjadi manusia, aborsi dapat dijustifikasi hanya ketika keberlanjutan kehamilan atau kelahiran dari bayi akan mengakibatkan hal negatif – secara fisik, psikologi, sosial dan ekonomi -- dari calon ibu.

Judith Jarvis Thomson dalam tulisannya yang terkenal “A Defense of Abortion” juga menguatkan kesimpulan mengenai aborsi yang menyatakan bahwa walaupun janin memiliki hak untuk hidup, kita masih bisa menjustifikasi aborsi untuk alasan hak wanita untuk memiliki hidup, integritas, dan privasi[9].

4.3 Padangan Islam Mengenai Aborsi
Al Baghdadi menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya[10].

Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh[11].

Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Secara umum, fikih mengenai aborsi memperbolehkan dengan beberapa persyarakat kondisi dan situasi yang melingkupinya terutama dalam mendukung upaya penguatan hak reproduksi perempuan dalam menghindari Kehamilan yang Tidak Dikehendaki (KTD) maupun mencegah terjadinya kematian ibu.

V. Kesimpulan
Dua kutub antara pihak pro-life dan pro-choice memberikan pandangan terhadap sikap dan posisinya dalam melihat konsep dan implementasi aborsi. Dari kedua konsep yang telah dipaparkan, setidak terdapat benang merah yang dapat di tarik dimana aborsi dapat dijustifikasi untuk menghindari akibat fatal atau kematian dari seorang wanita. Hal ini juga didukung oleh sebagian besar pemuka Islam mengenai aborsi, terutama aborsi sebelum peniupan ruh pada janin (4 bulan) dalam mendukung upaya penguatan hak reproduksi perempuan dalam menghindari Kehamilan yang Tidak Dikehendaki (KTD) maupun mencegah terjadinya kematian ibu.




DAFTAR PUSTAKA

§ Abortion, Internet Encyclopedia of philosophy, www.iep.utm.edu
§ Al Baghdadi, Abdurrahman, “Emansipasi Adakah Dalam Islam”, Gema Insani Press, 1998, Jakarta
§ English, Jane, "Abortion and the Concept of a Person", Canadian Journal of Philosophy, Vol. 5, no.2, pp. 233-243, 1975
§ Hillar, M and F. Prahl, Philosophers And The Issue Of Abortion, Published in Essays in the Philosophy of Humanism, eds., American Humanist Association, Houston, 1997, pp. 131-140
§ Kapita Seleksi Kedokteran, Edisi 3, halaman 260
§ Luker, Kristin, Abortion and the Politics of Motherhood, Berkeley: University of California Press. 1984
§ Paper dalam acara Kajian Ijtihad Kedokteran Kontemporer dengan judul “Cara Pandang Agama Islam Tentang Aborsi”, FK UNAIR, September 2001
§ Thomson, Judith J,., “A Defense of Abortion,” in: The Problem of Abortion,1984
§ Warren, Mary Anne, "On the Moral and Legal Status of Abortion," The Monist, Vol. 57, no.4, 1973 dalam tulisan M. Hillar and F. Prahl, Philosophers And The Issue Of Abortion, Published in Essays in the Philosophy of Humanism, eds., American Humanist Association, Houston, 1997, pp. 131-140


KETERANGAN Footnote :

[1] M. Hillar and F. Prahl, Philosophers And The Issue Of Abortion, Published in Essays in the Philosophy of Humanism, eds., American Humanist Association, Houston, 1997, pp. 131-140
[2] Deontological merupakan suatu pendekatan terhadap etika (ethics) yang menentukan moralitas atas suatu tindakan berdasarkan adherensi aksi dari suatu/serangkaian peraturan
[3] Kristin Luker, Abortion and the Politics of Motherhood, Berkeley: University of California Press. 1984
[4] http://www.jender.or.id/
[5] Kapita Seleksi Kedokteran, Edisi 3, halaman 260
[6] Abortion, Internet Encyclopedia of philosophy, http://www.iep.utm.edu/
[7] Mary Anne Warren, "On the Moral and Legal Status of Abortion," The Monist, Vol. 57, no.4, 1973 dalam tulisan M. Hillar and F. Prahl, Philosophers And The Issue Of Abortion, Published in Essays in the Philosophy of Humanism, eds., American Humanist Association, Houston, 1997, pp. 131-140
[8] Jane English, "Abortion and the Concept of a Person," Canadian Journal of Philosophy, Vol. 5, no.2, pp. 233-243, 1975
[9] Judith J Thomson,., “A Defense of Abortion,” in: The Problem of Abortion,1984
[10] • Abdurrahman Al Baghdadi, “Emansipasi Adakah Dalam Islam”, Gema Insani Press, 1998, Jakarta
[11] Paper dalam acara Kajian Ijtihad Kedokteran Kontemporer dengan judul “Cara Pandang Agama Islam Tentang Aborsi”, FK UNAIR, September 2001